ULMWP Ada Karena Momentum, Bukan Kesadaran Penuh Gerakan !

Akhir tahun 2014, tepatnya pada tanggal 1-4 Desember 2014, bertempat di Saralana, Vanuatu, berkumpul seluruh tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan West Papua dari berbagai faksi dan kelompok yang ada. Pertemuan di Saralana ini menjadi langkah baru bagi perjuangan kemerdekaan West Papua, dimana setelah puluhan tahun, setiap kelompok berjalan dengan pikiran dan gagasan masing-masing, namun semua itu berkumpul menjadi satu dan kemudian membuat suatu komitmen dan kesepakatan bersama, untuk berjuang bersama-sama didalam satu wadah bersama yang kemudian diberi nama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang kemudian dikenal dengan Deklarasi "SARALANA"
Deklarasi Saralana, tentunya telah menjawab kerinduan rakyat Papua yang menginginkan adanya persatuan didalam kubuh organisasi-organisasi gerakan perjuangan kemerdekaan yang ada, dimana seluruh elemen yang hadir saat itu telah mewakili seluruh organisasi perjuangan yang ada di Papua saat ini, hanya saja Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Bapak Forkorus Yaboisembut sendiri yang kemudian secara terang-terangan diberbagai media menyatakan menolak bergabung bersama ULMWP, dan kemudian mengambil tindakan pemecatan kepada beberapa tokoh perwakilan NRFPB yang diutus dalam deklarasi tersebut. Alasan penolakan untuk bergabung kedalam ULMWP oleh Presiden NRFPB tentu perlu dikonfirmasi, namun sayangnya, meski mendapatkan penolakan secara tegas dan terang-terangan, ULMWP tidak menghiraukannya, dan bahkan tetap berjalan sesuai dengan agenda-agenda yang telah disepakati bersama di Saralana saat itu.
Dari uraian singkat diatas, kemudian muncul beberapa pertanyaan, dimana pertanyaan ini kemudian memberikan jawabannya saat ini, seperti yang dapat kita lihat dalam perdebatan-perdebatan dibeberapa media sosial, pertanyaan paling mendasar yang perlu kita pertanyakan adalah "Apakah Kelahiran ULMWP, Murni Lahir Dari Kesadaran Tokoh-tokoh Pergerakan Yanga Ada, Ataukah Hanya Karena Latar Belakang Situasi dan Momentum Yang Ada Saat Itu ?".
Jika kita kembali melihat jauh kebelakang, sebelum terbentuknya ULMWP, dimana sesungguhnya kelahiran ULMWP hanya karena momentum saat itu, dimana ketika Aplikasi yang diajukan oleh West Papua National Coalition Liberation (WPNCL) untuk menjadi anggota dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) ditolak dengan alasan WPNCL terlalu inclusif, butuh persatuan yang lebih besar dari seluruh elemen rakyat Papua, sehingga dapat dikatakan sebagai wadah representatif rakyat Papua dan kemudian dapat diajukan menjadi anggota MSG.
Pernyataan dalam KTT MSG 2013 ini, kemudian mendorong WPNCL bekerja sama dengan pemerintah Vanuatu yang memang sejak awal mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua, kemudian mengagendakan pertemuan bagi pera pemimpin gerakan perjuangan kemerdekaan West Papua di Saralana, Vanuatu tahun 2014 silam, dimana pemerintah Vanuatu sendiri yang kemudian mempersiapkan segalah kebutuhan dalam pertemuan tersebut. Pertemuan yang digelar selama 4 hari di Saralana ini kemudian kemudian melarihkan United Liberation Mevement for West Papua (ULMWP) atau yang dikenal dengan Deklarasi "SARALANA".
Dengan demikian, dapat kami katakan bahwa sesungguhnya wujud persatuan dari terbentuknya ULMWP itu sendiri sesungguhnya bukanlah murni atas dasar kesadaran dari para pemimpin gerakan kemerdekaan West Papua yang ada dan bersepakat saat itu, sebab sesungguhnya kelahiran ULMWP hanyalah lebih kepada untuk melengkapi kebutuhan saat itu, dimana untuk mendaftarkan West Papua menjadi anggota MSG sebagai wadah representatif rakyat Papua. Sesungguhnya kesadaran para pemimpin gerakan perjuangan kemerdekan West Papua sendiri masih sangat sulit untuk dipersatukan, hal ini dapat dilihat dengan adanya berbagai macam perdebatan dan pertikaian yang terjadi dikalangan pemimpin yang adala di dalam ULMWP sendiri dan turuh mengakar sampai kepada basis massa rakyat di tanah air.
Jika situasi ini terus dipelihara, dan bahkan para pemimpin gerakan yang ada terkesan diam seolah tak ada persoalan antara mereka, dan tak mau duduk bersama-sama untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat, maka perpecahan yang lebih besar akan sangat mungkin terjadi dikalangan rakyat, dimana saat ini rakyat berada dibawa pandangan tokoh siapa yang paling benar dan tidak, untuk itu perlu adanya penyelesaian secara tuntas dikalangan para pemimpin gerakan yang ada.
Wujud persatuan yang diharapkan dalam perjuangan kemerdekaan West Papua, bukanlah hal yang sama seperti yang dilakukan di Saralana, dengan melahirkan ULMWP dan kemudian setelah terbentuk, semua tokoh kembali ke basis masing-masing dan melakukan kampanye dengan cara dan gaya payung organisasi masing-masing, jika memang ULMWP itu lahir atas kesadaran maka selayaknya seluruh pemimpin yang ada, melepaskan seluruh atribut organisasinya dan melebut menjadi satu didalam ULMWP, serta melakukan kampanye-kampanye dengan nama ULMWP itu sendiri. Jangan heran ketika banyak diantara rakyat kemudian menyatakan deklarasi Saralana hanyalah sebuah SANDIWARA yang dimainkan oleh para pemimpin gerakan, sebab sesungguhnya secara sadar dan tidak sadar, para pemimpin telah bersandiwara, dan itu dapat dibuktikan saat ini.

#bersambung.....

Matangkan Pembacaan Dan Matangkan Persiapan Sebelum Hari H

Pasca pengepungan asrama mahasiswa Papua Kamasan I Yogyakarta, oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) berserta organisasi kemasyarakatan ( ormas ) yang diback up oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada 15-17 Juli 2016 lalu, tindakan represif dan diskriminatif yang dilakukan oleh aparat kepolisian RI beserta ormas terhadap mahasiswa Papua di berbagai kota di luar Papua semakin menjadi-jadi. Berbagai ormas di berbagai kota di mulai gencar melancarkan propaganda-propaganda profokatif ditempat-tempat umum, dengan menempelkan spanduk, poster dan baliho bernada kecaman terhadap mahasiswa Papua yang melakukan aksi damai menuntut diberikannya Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua.
Selain itu, aparat kepolisian dari satuan lalu lintas, dengan sangat diskriminatif, melakukan sweeping atas kendaraan bermotor milik mahasiswa Papua diberbagai kota. Dimana sweeping dilakukan dititik-titik yang biasanya dilalui mahasiswa Papua, lalu ketika kedapatan ada orang Papua yang lewat, Polisi langsung mencegat dan menghentikan kendaraan mereka sedangkan para pengendara yang bukan orang Papua dibiarkan lewat begitu saja oleh aparat.
Situasi semakin parah pasca dikeluarkannya stateman terkait "Separatis" oleh Sri Sultan Hamoengku Buwono X selaku Gubernur dan juga raja keraton Yogyakarta, pada tanggal 19 Juli 2016, seakan mendapatkan legalitas dari seorang gubernur yang juga raja, dan diakui oleh sebagian masyarakat jawa, tindakan represif aparat semakin menjadi-jadi, aparat kepolisian, khususnya satuan lalu lintas semakin gencar melancarkan razia ditempat-tempat umum, yang dikhususkan kepada pengendara kendaraan asal Papua. Akibar razia sewenang-wenang yang dilakukan oleh kepolisian Yogyakarta, puluhan kendaraan milik mahasiswa Papua diangkut dan diamankan di Polda dan Polresta Yogyakarta, hingga saat ini. Meski para pemilik kendaraan telah membayarkan denda dari hasil sidang tipiring yang dilalui dipengadilan, namun tetap saja kendaraan milik para mahasiswa Papua ini urung dikembalikan kepada pemilik kendaraan, dengan berbagai macam alasan yang sangat tidak masuk akal dan diskriminatif.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Polisi pasca stateman Sri Sultan HB X, Ormas di Yogyakarta justru semakin gencar menebarkan propaganda-propaganda profokatif, kali ini tidak hanya di Yogyakarta, tetapi justru merembet ke berbagai kota di pulau Jawa dan Sulawesi. Berbagai Poster, spanduk, baliho dipampang dimana-mana, dan bahkan tak tanggung-tanggung, kelompok ormas ini menebarkan ancaman kepada mahasiswa Papua diberbagai tempat, seperti yang terjadi di Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang, Bandung, Surabaya dan Makasar. Beberapa mahasiswa Papua dikejar menggunakan kendaraan roda 2 pada malam hari dan beberapa lainnya disenggol hingga mengalami kecelakaan.
Melihat realita yang ada di berbagai kota di luar Papua, dan dengan berkaca dari pengalaman aksi damai yang digelar oleh rakyat Papua yang dikoordinir oleh Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] pada tanggal 1 Desember 2015 silam di Jakarta, maka sangat perlu dan sangat penting bagi segenap elemen rakyat Papua di luar Papua, terlebih khusus di Jawa dan Bali untuk lebih mematangkan pembacaan dan mengikuti dinamika politik West Papua khususnya yang berkembang di kawasan regional saat ini guna mengambil sikap dan tindakan yang tepat dalam momentum perayaan HUT Kemerdekaan West Papua pada 1 Desember 2016 mendatang.
Beberapa hal yang menurut saya harus dipersiapkan oleh segenap elemen rakyat Papua yang hendak merayakan HUT Kemerdekaan West Papua di kota-kota kolonial, jauh-jauh hari sebelum hari H adalah :
1. Melakukan Pembacaan dan Pemetaan Terkait Dinamikan Politik Secara Matang dan Maksimal di Berbagai Kota Sebelum Hari H.
2. Jika Perayaan Secara Terpusat, Maksimalkan Tim Advokasi Secepatnya
3. Menyiapkan Setidaknya Satu Orang Kawan Yang Siap Menjadi Penjamin dan Penanggung Jawab, Dengan Konsekuensi Harus Di Tahan
4.Pematangan Setingan Aksi Dilakukan Setidaknya Satu Minggu Sebelum Hari H dan Dilakukan Diluar Kota Titik Aksi
5. Mendata dan Memastikan Secara Pasti dan Jelas, Segenap Elemen Yang Akan Terlibat Dalam Perayaan HUT Kemerdekaan West Papua.

Sekian sedikit gambaran situasi kota-kota diluar Papua yang bisa digambarkan dalam bebrapa bulang terakhir, serta beberapa hal yang saya sarankan untuk dapat dipersiapkan, sebelum perayaan HUT Kemerdekaan West Papua, 1 Desember 2016 mendatang.

Salam Juang dan Selamat Menyambut dan Merayakan Hari Kemerdekaan West Papua 1 Desember 2016. [rk]

Gagal Dalam Diplomasi.., Operasi Militer Akan Semakin Masif Dilakukan Di Papua..

Ilustrasi Militer Indonesia (google.com)
Pasca sidang tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu, dimana dalam sidang tahunan tersebut Indonesia menjadi salah satu negara yang peling banyak disoroti, dalam berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan militer Indonesia, terhadao orang asli Papua (OAP). Sebanyak 7 negara anggota PBB dengan tegas melayangkan berbagai kritikan kepada Indonesia, serta membeberkan realita HAM yang ada di Papua, dalam sidang tahunan PBB tersebut.
Meski mendapatkan sorotan dari berbagai negara terkait kondisi HAM di Papua, Indonesia tetap saja menyangkali apa yang terjadi di Papua, dan menegaskan agar negara-negara lain tidak perlu ikut campur persoalan Papua, sebab masalah Papua adalah masalah Internal Indonesia, sehingga negara-negara tetangga perlu menghargai dan menghormati hal tersebut. Mendengar jawaban Indonesia, tentu membuat banyak negara-negara yang hadir dalam sidang tahunan PBB tersebut menjadi bertanya-tanya, ada apa sebenarnya, sehingga Indonesia terkesan menutup rapat Papua dari mata dunia, meskipun banyak negara yang menawarkan pembentukan tim pencari fakta untuk hadir ke Papua, namun hal itupun lagi-lagi mendapatkan penolakan dari Indonesia.
Menanggapi sikap Indonesia dalam sidang tahunan PBB yang dilaksanakan beberapa waktu lalu, perdana mentri Solomon Island, Mr. Manasseh Sogavare, yang juga ketua MSG beserta beberapa pimpinan negara-negara melanesia, mengeluarkan pernyataan tegas diberbagai media Internasional, bahwa dalam Konfrensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT MSG) yang akan digelar pada bulang Desember 2016 mendatang, United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) akan ditetapkan sebagai anggota full di MSG, setelah sebelumnya pada tahun 2015 ULMWP hanya berstatus sebagai anggota peninjau (observer). Pernyataan yang dikeluarkan Mr. Manasseh Sogavare, tentu sangat berdasar dan memiliki alasan kuat, dimana pada tahun 2015, ketika ULMWP mengajukan aplikasi untuk menjadi anggota full di MSG, Indonesiapun ikut-ikutan mengajukan aplikasi yang sama, sehingga dengan alsan Papua masih bagian dari salah satu provinsi di Indonesia, maka Melanesia Indonesia (Melindo) yang diterima sebagai anggota tetap, sedangkan ULMWP sebagai observer.
Diterimanya Melindo sebagai anggota full di MSG, diharapkan dapat memudahkan MSG dalam pencarian fakta terkait kondisi Hak Asasi Manusia di tanah Papua, namun nyatanya harapan para pimpinan negara-negara melanesia tersebut tidak dapat terealisasikan, dikarenakan tawaran pembentukan tim pencari fakta oleh MSG dan bahkan Pasifik Island Forum (PIF) yang beberapa kali ditawarkan kepada Indonesia, selalu saja ditolak oleh pemerintah Indonesia. Melihat sikap Indonesia, tentu membuat para pimpinan negara-negara melanesia menjadi geram, sehingga dengan tegas menyatakan akan menjadikan ULMWP sebagai anggota full di MSG, guna mempermudah proses pencari fakta ke Papua.
Namun dari sekian uraian diatas, yang menjadi penting untuk dicermati adalah terkait tindakan yang akan dilakukan Indonesia di tanah Papua, sesudah ULMWP dinyatakan sah menjadi anggota full di MSG. Dari dinamika politik ditingkat regional maupun Internasional, dapat kita simak secara seksama bahwa Indonesia sesungguhnya telah gagal dalam melakukan upaya-upaya diplomasinya, guna meyakinkan berbagai negara di dunia internasional, terkait kondisi dan realita hari ini di Papua. Kegagalan Indonesia dalam upaya diplomasi, sebenarnya sudah nampak dalam 10 tahun terakhir, namun baru kali ini terlihat dengan sangat jelas bahwa Indonesia telah gagal. Hal ini tentu akan menjadi pemicu bagi Indonesia untuk mempersiapkan langkah lain dalam menyikapi siasi Politik di Papua, dan itu sebanarnya telah dipersiapkan dalam kurang dari 5 tahun terakhir, tetapi kelihatannya hal tersebut luput dari pandangan rakyat Papua.
Dengan gagalnya bebagai upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia, langkah yang paling mungkin dilakukan Indonesia di Papua adalah, membangun sebanyak-banyaknya pos-pos militer dan pangkalan-pangkalan militer diseluruh pelosok tanah Papua dan mulai melancarkan berbagai macam operasi militer secara sistermatis diseluruh tanah Papua, khususnya kepada orang asli Papua yang terindikasi sebagai orang-orang yang pro terhadap kemerdekaan West Papua. Upaya pendekatan militer dan bahkan operasi militer di Papua sudah mulai gencar dan marak terjadi di Papua dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun terakhir, pembangunan pos-pos dan pangkalan militerpun semakin masif dilakukan oleh Indonesia, dimana setelah membangun pangkalan angkatan Laut di Sorong, militer Indonesia kembali merencanakan pembangunan pangkalan angkatan udara di Biak serta angkatan darat di Timika dan Merauke.
Selain pembangunan berbagai pos militer dan pangkalan militer serta operasi-operasi yang semaikn gencar dilakukan, upaya pecah belah antara sipil atas permainan intelejen di Papuapun semakin banyak terjadi di mana-mana, guna menciptakan terjadinya konflik antara sipil dengan sipil, baik pribumi maupun pendatang di tanah Papua.
Melihat situasi rill yang ada di Papua saat ini, dengan berbagai tindakan militeristik yang dilakukan oleh aparat militer Indonesia terhadap rakyat Papua, maka sangat penting untuk seluruh elemen pergerakan kemerdekaan West Papua yang ada, bisa menganalisa dan mencermati hal ini dengan sangat baik, dikarenakan kemungkinan situasi akan semakin memanas di Papua, pasca penetapan ULMWP menjadi anggota tetap di MSG pada bulan desember 2016 mendatang.[rk]

Desember ULMWP Jadi Full Member di MSG, Lalu Apa Yang Akan Indonesia Lakukan ?

Bendera MSG dan Bendera Negara Anggota MSG (google.com)
Dalam pernyataannya diberbagai media internasional beberapa waktu lalu, Perdana Mentri Solomon Island, Mr. Manasseh Sogavare, yang juga selaku Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG), bersama Perdana Mentri Vanuatu dan New Caledonia secara tegas menyatakan bahwa KTT MSG pada bulan Desember mendatang, akan menjamin keanggotaan full West Papua (ULMWP) di MSG, dengan maupun tanpa kehadiran PNG dan Viji.
Pernyataan ini tentu saja memanaskan telinga Indonesia, dimana Indonesia sendiri telah secara resmi sudah mengajukan aplikasi menjadi anggota MSG dan telah diterima sebagai anggota full MSG dalam KTT MSG yang digelar di Honiara, Solomond Island pada bulan Mei 2015 silam. Dimana pengajuan aplikasi keanggotaan Indonesia (Melindo) saat itu juga bersamaan dengan pengajuan aplikasi oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), mewakili West Papua, namun ULMWP hanya diterima sebagai Observer dalam KTT yang MSG 2015 silam. 
Kali ini, dengan pernyataaan yang dilontarkan oleh Perdana Mentri Solomon Island yang juga sebagai Ketua MSG, bersama Perdana Mentri Vanuatu dan New Caledonia beberapa waktu lalu, pasca sidang tahunan PBB ini tentu akan menjadi perhatian serius bagi Indonesia. Dimana, ketiga negara anggota MSG ini, yang juga sebagai anggota Pasifik Island Forum (PIF), bersama dengan 4 negara anggota PIF lainnya, secara lantang mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera turun tangan dalam penyelesaian persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di West Papua dalam sidang tahunan PBB beberapa waktu silam. Dalam pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pimpinan dari 7 negara anggota PIF saat sidang PBB, perwakilan Indonesia telihat kebingungan dan justru mengeluarkan pernyataan yang menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri.
Pasca dipermalukan dalam sidang tahunan PBB, Indonesia kemudian dikejutkan oleh pernyataan Ketua MSG dan 2 pemimpin negara anggota MSG lainnya. yang mana dengan tegas menyatakan akan menerima ULMWP sebagai anggota full MSG dalam KTT MSG pada bulan desember mendatang. Menanggapi hal ini, Indonesia tentu tidak akan tinggal diam, Indonesia saat ini tentu sedang melakukan berbagai macam upaya, termaksud politik uang, seperti yang biasanya dilakukan untuk kembali mencekal ULMWP menjadi anggota full di MSG, namun nampaknya berbagai upaya yang akan dilakukan oleh Indonesia itu tidak akan berjalan mulus, karena meskipun Indonesia kembali mendekati PNG dan Viji, namun nampaknya pendekatan yang dilakukan hanya akan membuahkan hasil yang sia-sia belaka, karena jelas dalam pernyataannya Mr. Manasseh Sogavare secara tegas menyatakan bahwa, dengan maupun tanpa kehadiran PNG dan Viji, ULMWP dijamin menjadi anggota full MSG pada KTT bulan desember mendatang.
Dengan sedikit uraian diatas, dapat kita gambarkan bahwa Indonesia telah kalah dalam berbagai macam upaya diplomasi yang dilakukan, baik ditingkat internasional, maupun regional Pasifik dan Melanesia, namun demikian, dari uraian diatas ada dua pertanyaan yang perlu dianalisa dan dijawab oleh rakyat Papua, baik di Papua, Indonesia maupun di berbagai negara lainnya yaitu :
1. Apa Yang Akan Indonesia Lakukan Setelah Upaya Diplomasinya Gagal...???
 
2.Mengapa Ketua MSG, Perdana Mentri Vanuatu dan New Caledonia Mengeluarkan Statemen Soal Kenggotaan ULMWP Lebih Awal...???
Untuk menjawab dua pertanyaan diatas, sangat penting untuk kita analisa secara seksama terkait kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan mengaitkannya dengan melihat kondisi rill yang dilakukan Indonesia di Papua saat ini, selain itu, sangat penting untuk kita kembali bercermin pada apa yang terjadi di Timur Leste, pasca pelaksanaan Referendum dilakukan.
Sedikit uraian diatas beserta dua pertanyaan yang muncul dari benak saya ini,  sebatas catatan dan pertanyaan yang saya bagikan kepada kita semua agar bisa menganalisa secara seksama sehingga dapat memutuskan suatu langkah cepat, guna mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi. [rk]

Perlunya Pembacaan Lebih Mendalam Terkait Pengerahan Militer dan Munculnya Ormas Reaksioner di Papua

Suhu politik Papua, kian hari semakin menunjukan perkembangan yang sangat signifikan. Ditingkat Internasional, upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat diberbagai negara, semakin menunjukan kemajuan pesat, dimana di Inggris Benny Wenda bersama Free West Papua Campaign, ILWP, dan IPWP secara gamblang mendeklarasikan Referendum bagi West Papua, yang didukung langsung oleh ketua partai Buruh Inggris, yang saat ini berposisi sebagi oposisi dalam pemerintahan inggris dan anggota parlemen Inggris. Selain itu, di kawasan Melanesia sendiri,  Perdana Mentri Vanuatu, Perdana Mentri Salomon Island yang juga ketu MSG, dan Perdana Mentri Kanaki, secara tegas menyatakan dukungannya kepada United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) untuk diangkat statusnya dari opserver menjadi anggota penuh di forum MSG sesegerah mungkin, dengan mempertimbangkan sikap pemerintah Indonesia yang seakan malas tahu dengan  undangan ketua MSG untuk membahas persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di West Papua. Tidak hanya itu, dalam satu minggu terakhir, Perdana Mentri Papua New Gunea dalam siaran persnya kepada berbagai media internasional, dengan tegas menyatakan bahwa forum negara-negara Pasific menginginkan Self Determination bagi West Papua.
Menanggapi suhu politik West Papua yang sema tinggi dalam kurun waktu satu bulan terakhir, pemerintah Indonesia terkesan tertutup dan bahkan tidak terlalu menghiraukan apa yang terjadi di tingkat Internasional. Dalam siaran persnya beberapa waktu lalu, kementrian luar negri meng klaim bahwa tidak ada hal yang khusus dan bahkan menyatakan bahwa probaganda yang dilakukan oleh pendukung kemerdekaan West Papua adalah tidak benar, sehingga tidak perlu ditanggapi serius. Namun nyatanya apa yang diungkapkan pemerintah Indonesia lewat kementrian luar negrinya, tidak berjalan sebanding dengan sikap yang diambil dalam merespon suhu politik Papua ditingkat internasional maupun di Papua sendiri. Pemerintah Indonesia lewat kementrian pertahanan secara diam-diam mengirimkan pasukan dalam jumlah besar, serta menggencarkan pembangunan pos-pos pengamanan di berbagai daerah di Papua, terlebih khusus di daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan Papua New Gunea. Selain itu, kementrian pertahanan Indonesia menyatakan akan membangun pangkalan militer khusus di Papua, dan kantor perwakilan kementrian pertahanan di Papua dalam waktu dekat, dan rencananya akan dimulai pada akhir tahun 2016 ini.
Melihat pengerahan militer dalam jumlah besar ke tanah Papua khususnya di daerah-daerah perbatasan oleh pemerintah Indonesia, mendapat tanggapan dari Gerry Juffa (Gubernur Provinsi Oro, Papua New Gunea), dimana Juffa secara tegas menyuarakan hal ini kepada parlemen Papua News Gunea, agar dapat menjadi perhatian yang serius, sebab menurutnya pengerahan pasukan dalam jumlah yang sangat besar seperti ini, tentu memiliki alasan, apa lagi puluhan ribu pasukan itu disiagakan di daerah yang berbatasan langsung dengan PNG.
Maraknya pengerahan militer dan pembangunan pos-pos pengamanan di tanah Papua, ini perlu dikaji dan dianalisa secara mendalam oleh seluruh lapisan rakyat Papua, baik di gerakan gerilya kota, gerilya rimba maupun di tingkat Internasional. Pengerahan pasukan yang dilakukan oleh Indonesia ini, ikut dibarengi dengan munculnya berbagai macam organisasi sipil reaksioner, yang semakin menunjukan tajinya, dengan melakukan aksi-aksi tandingan dan bahkan membakar atribut organisasi dan bendera Bintang Kejora di gedung DPRP beberapa waktu lalu. Tidak hanya itu, aksi-aksi anarkis dan provokatifpun ditunjukan oleh massa ormas yang muncul dalam 1 bulan terakhir di berbagai daerah di Papua, seperti yang dilakukan oleh massa Bara NKRI dalam aksi anarkis yang mereka lakukan pada tanggal 2 Juni 2016 lalu. Dimana dalam aksi yang digelar oleh kelompok ini, diberitakan setidaknya seorang perempuan Papua yang sedang melintas di depan lapangan Trikora, Padang Bulan, Abepura (depan kampus Uncen I), dianiaya oleh massa aksi Bara NKRI, tanpa alasan dan sebab yang jelas. Selain itu, massa ini memaksakan toko-toko, kios, angkutan dan pasar untuk tidak beraktifitas, serta memaksakan pemilik toko, kios dan supir akutan untuk terlibat dalam aksi yang mereka lakukan.
Hal ini perlu menjadi perhatian khusus para pengambil kebijakan yang ada di Papua, sebab jika tidak demikan, hal ini tentu akan memancing terjadinya konflik horizontal antara massa rakyat Papua dan ormas reaksioner yang massanya mayoritas orang non Papua, dan jika konflik ini pecah, maka tentu Indonesia akan merasa berhasil dan justru akan memelihara konflik ini terjadi dalam skala yang lebih besar dan dalam kurun waktu yang lama, demi meloloskan kepentingan mereka di atas tanah Papua.(rk)

Informasi

PAPUA Zona Darurat News : Setelah sebelumnya (12 Juni 2015), Mentri Pertahanan Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, mengeluarkan pernyataan kepada Komando Strategis cadangan Angkatan Darat (AD) Batalyon Infantri 303, untuk siap siaga, ketika sewaktu-waktu harus diterjukan ke PAPUA, untuk menghadapi Gerakan Kemerdekaan West PAPUA, Yang kemudian pernyataan itu disikapi langsung oleh TNI, dengan membentuk Satuan Khusus Penaggulangan Teror dan Makar pada tanggal 13 Juni 2015 di Garut Jawa Barat, Berikut pernyataan Komandan Korps Pasukan Khas Marsekal Muda Adrian Wattimena ""Ancaman Indonesia itu terorisme dan insurgency. Itu masih terjadi di daerah konflik seperti Papua dan Aceh,", "Standar perencanaan kami, 1x24 jam itu sudah siap mengerahkan pasukan. Sekarang dalam hitungan jam kami sudah bisa tiba di daerah operasi,".
Di hari yang sama, tepatnya 13 Juni 2015, Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko memberikan pelatihan khusus kepada wartawan nasional dan internasional terkait tata cara meliput di medan perang, seperti yang dilansir di Berbagai media Indonesia dan Papua (majalahselangkah.com). Berikut kutipan pernyataan panglima TNI "Ini perlu dicermati bahwa saudara wartawan nanti jika memiliki tugas di wilayah tidak aman, maka perlu memahami situasi di sana," ujar Moeldoko, selengkapnya silahkan baca :
http://majalahselangkah.com/…/-jenderal-tni-moeldoko-latih-…
http://majalahselangkah.com/…/tni-bentuk-satuan-khusus-tang…
http://majalahselangkah.com/…/mentri-pertahanan-ri-cadangka…
Dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh para petinggi Militer Indonesia belakangan ini, dan dengan melihat situasi politik West PAPUA yang saat ini, sangat perlu dan patut untuk kami rakyat West PAPUA pada umumnya dan khususnya Mahasiswa PAPUA yang berada di wilayah Kolonial Republik Indonesia, agar bisa lebih pekah dalam melihat dan membaca situasi politik saat ini, sebab jika tidak demikian, tentu kami sendiri yang akan menikmati hasil dari ketidak pekaan kita.
Dan khusus untuk Mahasiswa dan Pelajar PAPUA yang berada di daerah/wilayah kolonial, dihimbau agar bisa tetap berada dalam satu gari komando, agar peristiwa yang pernah menimpa saudara-saudara kami dari Timor Leste, tidak terulang pada kita.